Kisah ini terpendam sekian lama dan berasal dari episode pendakian Gunung Ciremai yang dilakukan oleh sekawanan oxers yang bersemangat, sekaligus memiliki tingkat kenekatan yang cukup memprihatinkan.
Gunung Ceremai (seringkali secara salah kaprah dinamakan "Ciremai") secara administratif termasuk dalam wilayah tiga kabupaten, yakni Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Posisi geografis puncaknya terletak pada 6° 53' 30" LS dan 108° 24' 00" BT, dengan ketinggian 3.078 m di atas permukaan laut. Gunung ini merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat. (Wikipedia)
Konon gunung ini menurut legenda adalah tempat singgasana kerajaan Nini Pelet. Purpalawan dan purpalawati dengan style masing-masing yang tentunya berbasic pendaki (baju kebangsaan planel kotak-kotak, carrier 60 kg berhias gandulan matras, etc.) bergerak menuju
Kami bersembilan terdiri atas 4I (Iyen, Iyes, Indra & Inin), Kang Iyus, Kang Dede 'Lungguh', Kang Iwan 'Chiwonk', Kang Mamat 'bos J-co' dan Kang Emir.
Pendakian dikategorikan sebagai nekad karena logistik pas-pasan dan -terutama- kami juga tidak mengantongi izin 'resmi' pendakian dari KUNCEN (juru Kunci Ciremai). Kami memang mendaki agak kemalaman, karena maklum ngedadak berangkat setelah kuliah sore.
Malam itu kami tidur di lereng gunung dengan kondisi 'penginapan alami' seadanya, untuk memulihkan tenaga dan bersiap melakukan pendakian besok paginya. Logistik dan persediaan air minum yang sangat pas-pasan, membuat kami menetapkan target sampai di puncak sebelum ashar dan akan langsung turun lagi ke bawah. Menurut info, jika berada di puncak lewat ashar, terdapat resiko angin badai yang lumayan besar.
Saya sudah berusaha untuk beraktivitas selayaknya purpalawati yang gagah berani, bernyali tinggi, dan kuat mendaki... Tapi apa daya 'beser' adalah karakter lain yang juga melekat dan selalu kebawa-bawa (bahkan sampai sekarang). Keinginan untuk pipis ini, jika diabaikan akan menimbulkan ketidaknyamanan dalam perjalanan.
Masalahnya setiap kami berada di bawah pohon, terdapat 'keunikan' di rute Ciremai ini. Banyak dahan dan ranting pohon berhiaskan 'air kuning' yang dikemas dalam plastik maupun botol bekas minuman. Banyak sekali bahkan sampai berada di dahan yang letaknya diatas sekalipun.
AIR APAKAH ITU?
Rupanya karena kami tidak menghadap kuncen, kami tidak tahu kalo di Gunung Ciremai DILARANG KERAS buang air kecil di tanah! Larangan tersebut yang telah menyebabkan timbul pemandangan seperti itu. Berapa banyak orang buang air kecil, sebanyak itulah pula kantung-kantung air menggantung di pohon-pohon. Kebayang kan? Setiap kami tengadah, kami teriak, "Awas CIKI!!!" (Ciki adalah singkatan dari bahasa buhun 'Chekee-eeh', red.)
Tapi kami purpalawati (sebab purpalawan gak kami pantau tuh!)... tetap aja pipis di tanah (sebabnya selain gak bawa persediaan kantung plastik sebanyak itu... juga takhayul kata pak ustadz).
Waktu dhuhur kami sejenak rehat hanya untuk sholat jama' qoshor (discount khusus purpala) di antara rimbun ranting kering yang menyerupai gua (alhamdulillah, disana gak ada kantung CIKI!!). Tempat sholat ini cukup nyaman, nun di seberang sana terhalang hamparan langit dan awan yang luas latar gunung Slamet terlihat jelas dan indah...)
Tidak ada yang tahu diantara kami bahwa konon tempat tadi itu adalah... SARANGNYA HARIMAU BERMATA SATU. Makhluk ini konon tunggangan kebanggaan sekaligus sekutu dari Nini Pelet... (Hiiiiy!!!!)
KEANEHAN MULAI TERJADI...
Disaat sudah melewati hamparan pohon EDELWEIS yang berbunga indah dan tentunya penuh berhiaskan kantung-kantung CIKI, sampailah kami di puncak Gunung Ciremai pada persis lewat ashar. Angin bertiup menghembus kencang, membawa suasana kegetiran di sore itu. Ratusan hektar area kawah Ciremai, tetapi tim kami rasanya hanya sendirian. Sungguh kami merasa kecil dalam kebesaran ciptaan-Nya.
Kami masing-masing merasa ada anggota tim yang belum sampai, sehingga kami terus menunggu. Padahal berkali-kali kami hitung, kami sudah lengkap bersembilan. Jadi sebenarnya tidak kurang. Jadiii???
Ketidakamanan angin besar menyerupai badai dan kondisi kawah Ciremai yang labil menganga... membuat kami segera turun...
Dan MISTERI ITU berlanjut...
Kami... bukan hanya saya... merasa kami adalah rombongan yang besar! Alias rame banget yang ngobrol... bahkan saya sempat berfikir kalo kami gabung tim pendaki lain, tapi begitu dicek tengok satu-satu... tetep aja kami bersembilan…
Kondisi pendakian membuat kami menunda waktu makan dan istirahat karena belum menemukan lereng yang agak landai dan aman dari sapuan badai.
Namun maag saya kambuh karena seharian cuma disumpel cokelat de*fi itupun dibagi beramai-ramai. Akhirnya dengan terpaksa kami berhenti dan tim yang baik hati dan tidak sombong itu memasak sepotong mie khusus untuk saya... (ngirit? betul! karena persediaan air tinggal 1 liter aqua untuk bersembilan).
Keadaan rame itu semakin terasa... bahkan di ujung mata saya melihat berpasang-pasang sepatu kets selonjor... (saya beristighfar, sambil masih berbaring di kaki Iyes)... Karena penasaran, saya langsung bangun untuk memastikan... tapi gak ada siapa-siapa lagi selain rombongan kami. Jadi berpasang-pasang sepatu kets selonjor itu punya siapa?
Kami melanjutkan perjalanan turun dengan suasana makin tegang mencekam... Semua senyap dalam langkah menuruni Gunung Ciremai.
"Senter dihemat! Yang dinyalakan cuma satu saja!", seru kang Iyus dari belakang.
Saya yang diurutan pertama tak menghiraukan perintah itu, karena kegelapan menambah angker suasana jalan yang kami lalui.
Sssrrreeettt! Senter Iyes menyorot ujung pohon menjulang, dan... ada bayangan hitam disana!! Mata kami semua sontak tertuju kearah bayangan itu... Luar biasa, ternyata sepasang underwear atas bawah lengkap milik wanita dipasang dengan lengkap dan sempurna di pohon.
"Aya-aya wae! Kumaha masangna?" itulah gumam kami waktu itu... Meski sedikit ketawa, tetapi tetap saja tidak mengendurkan ketegangan...
Telinga saya tiba-tiba mendengar suara Leo Samaritaan (temen kita yang penyanyi itu) dan Teh Willy sedang ngobrol ribut seperti kalo sedang kuliah... (alam bawah sadar saya heran karena tentu saja kedua kawan itu tidak ikut dalam pendakian ini... tapi saya cuma membatin dalam hati... khawatir menularkan rasa takut pada yang lain).
Di tengah ketegangan itu Kang Mamat di belakang nyeletuk dengan suara bergetar, "Kok kayak ada Leo dan Willy ya…?!!"
Saya tercekat dan berkata lirih "Sama Mat... Saya juga denger...”
Suasana menjadi senyap lagi, dengan fikiran masing-masing yang dicekam ketegangan... Kami bahkan sempat berputar–putar dan kesasar jalur, tidak menemukan jalur naik pada siang tadi. Ngerinya, konon di Ciremai kalo salah jalur kita bisa ketemu rombongan macan kumbang..
Iyes yang sejak tadi diam tiba-tiba setengah berteriak, "Duh, geus ngaco yeuh panon !! Saya liat banyak rumah-rumah kayak komplek perumahan gituu!!"
"Istighfar, Yess!" seru Kang Iyus... Bulu kuduk kami tambah meremang berdiri tanpa ada yang berani komentar.
"Kita istirahat sebentar", kata kang Iyus mengingat halusinasi angota rombongan sudah gak karuan.
Mamat duduk sambil setengah bergumam, "Saya liat ada Willy dan Tita pake kerudung hijau...”
Kami saling tatap... karena di dalam tim hanya ada satu yang pake kerudung, yaitu saya... Itupun kerudungnya berwarna putih...)
Kami terduduk dan tiba-tiba tertidur tanpa niat tidur... dengan posisi ransel masih di punggung. Saya terbangun karena dingin dan mendengar suara Inin yang 'ngalindur' (piss... Inin aku buka aibnya nih). Inin ini sangat unik kawan-kawan... Dia biasa ngelindur beberes sambil mata tertutup. Makanya kami dulu senang kalo Inin numpang tidur siang di kosan kami sebelum praktikum sore (berharap dia ngelindur terus beres-beres kamar kost kita..).
Waktu itu Inin ngelindur sambil beres-beres gelarin matras dan sekitar tempat istirahat, mulutnya ngoceh nyuruh saya tidur di matras... tentu saja dengan mata terpejam.
Kami akhirnya turun entah dua jam atau lebih kemudian. Kami segera mencari sumber air untuk shalat subuh yang sudah kesiangan dan akhirnya kami dapat melaksanakan sholat subuh dan mandi koboy di mata air yang ada tugu-tugu batunya. Dan wahai kawan-kawan purpala tercinta, konon katanya batu-batu yang sempat dengan seenaknya kami duduki itu ternyata adalah batu keramat tempat pertapaan Nini Pelet sekaligus tempat pertemuan tokoh ini dengan Sunan Bonang pada masa penyebaran Islam kepada pengikut penguasa sihir tersebut.
Apapun misteri yang kami langgar pada waktu pendakian itu kami simpan rapi dan tidak kami sampaikan kepada siapa-siapa (padahal sebenarnya masih terasa menempel di tengkuk sampai seminggu lebih, meskipun sudah seminggu berada kembali di Jatinenzer). Kalau dipikir-pikir, ada untungnya juga tidak menghadap kuncen... karena akan diberi pembekalan tentang tempat-tempat keramat dan ratusan aturan yang tidak boleh dilanggar selama mendaki Gunung Ciremai.
SEMINGGU kemudian berita tersiar di TV bahwa puluhan macan kumbang turun dari Ciremai menyantap ternak-ternak di perkampungan lereng gunung (kabar burung yang tidak dapat dipercaya mengatakan mereka mencari pasukan yang berani-beraninya buang CIKI di tanah mereka... Nah lho...
Gunung Ceremai (seringkali secara salah kaprah dinamakan "Ciremai") secara administratif termasuk dalam wilayah tiga kabupaten, yakni Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Posisi geografis puncaknya terletak pada 6° 53' 30" LS dan 108° 24' 00" BT, dengan ketinggian 3.078 m di atas permukaan laut. Gunung ini merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat. (Wikipedia)
Konon gunung ini menurut legenda adalah tempat singgasana kerajaan Nini Pelet. Purpalawan dan purpalawati dengan style masing-masing yang tentunya berbasic pendaki (baju kebangsaan planel kotak-kotak, carrier 60 kg berhias gandulan matras, etc.) bergerak menuju
Kami bersembilan terdiri atas 4I (Iyen, Iyes, Indra & Inin), Kang Iyus, Kang Dede 'Lungguh', Kang Iwan 'Chiwonk', Kang Mamat 'bos J-co' dan Kang Emir.
Pendakian dikategorikan sebagai nekad karena logistik pas-pasan dan -terutama- kami juga tidak mengantongi izin 'resmi' pendakian dari KUNCEN (juru Kunci Ciremai). Kami memang mendaki agak kemalaman, karena maklum ngedadak berangkat setelah kuliah sore.
Malam itu kami tidur di lereng gunung dengan kondisi 'penginapan alami' seadanya, untuk memulihkan tenaga dan bersiap melakukan pendakian besok paginya. Logistik dan persediaan air minum yang sangat pas-pasan, membuat kami menetapkan target sampai di puncak sebelum ashar dan akan langsung turun lagi ke bawah. Menurut info, jika berada di puncak lewat ashar, terdapat resiko angin badai yang lumayan besar.
Saya sudah berusaha untuk beraktivitas selayaknya purpalawati yang gagah berani, bernyali tinggi, dan kuat mendaki... Tapi apa daya 'beser' adalah karakter lain yang juga melekat dan selalu kebawa-bawa (bahkan sampai sekarang). Keinginan untuk pipis ini, jika diabaikan akan menimbulkan ketidaknyamanan dalam perjalanan.
Masalahnya setiap kami berada di bawah pohon, terdapat 'keunikan' di rute Ciremai ini. Banyak dahan dan ranting pohon berhiaskan 'air kuning' yang dikemas dalam plastik maupun botol bekas minuman. Banyak sekali bahkan sampai berada di dahan yang letaknya diatas sekalipun.
AIR APAKAH ITU?
Rupanya karena kami tidak menghadap kuncen, kami tidak tahu kalo di Gunung Ciremai DILARANG KERAS buang air kecil di tanah! Larangan tersebut yang telah menyebabkan timbul pemandangan seperti itu. Berapa banyak orang buang air kecil, sebanyak itulah pula kantung-kantung air menggantung di pohon-pohon. Kebayang kan? Setiap kami tengadah, kami teriak, "Awas CIKI!!!" (Ciki adalah singkatan dari bahasa buhun 'Chekee-eeh', red.)
Tapi kami purpalawati (sebab purpalawan gak kami pantau tuh!)... tetap aja pipis di tanah (sebabnya selain gak bawa persediaan kantung plastik sebanyak itu... juga takhayul kata pak ustadz).
Waktu dhuhur kami sejenak rehat hanya untuk sholat jama' qoshor (discount khusus purpala) di antara rimbun ranting kering yang menyerupai gua (alhamdulillah, disana gak ada kantung CIKI!!). Tempat sholat ini cukup nyaman, nun di seberang sana terhalang hamparan langit dan awan yang luas latar gunung Slamet terlihat jelas dan indah...)
Tidak ada yang tahu diantara kami bahwa konon tempat tadi itu adalah... SARANGNYA HARIMAU BERMATA SATU. Makhluk ini konon tunggangan kebanggaan sekaligus sekutu dari Nini Pelet... (Hiiiiy!!!!)
KEANEHAN MULAI TERJADI...
Disaat sudah melewati hamparan pohon EDELWEIS yang berbunga indah dan tentunya penuh berhiaskan kantung-kantung CIKI, sampailah kami di puncak Gunung Ciremai pada persis lewat ashar. Angin bertiup menghembus kencang, membawa suasana kegetiran di sore itu. Ratusan hektar area kawah Ciremai, tetapi tim kami rasanya hanya sendirian. Sungguh kami merasa kecil dalam kebesaran ciptaan-Nya.
Kami masing-masing merasa ada anggota tim yang belum sampai, sehingga kami terus menunggu. Padahal berkali-kali kami hitung, kami sudah lengkap bersembilan. Jadi sebenarnya tidak kurang. Jadiii???
Ketidakamanan angin besar menyerupai badai dan kondisi kawah Ciremai yang labil menganga... membuat kami segera turun...
Dan MISTERI ITU berlanjut...
Kami... bukan hanya saya... merasa kami adalah rombongan yang besar! Alias rame banget yang ngobrol... bahkan saya sempat berfikir kalo kami gabung tim pendaki lain, tapi begitu dicek tengok satu-satu... tetep aja kami bersembilan…
Kondisi pendakian membuat kami menunda waktu makan dan istirahat karena belum menemukan lereng yang agak landai dan aman dari sapuan badai.
Namun maag saya kambuh karena seharian cuma disumpel cokelat de*fi itupun dibagi beramai-ramai. Akhirnya dengan terpaksa kami berhenti dan tim yang baik hati dan tidak sombong itu memasak sepotong mie khusus untuk saya... (ngirit? betul! karena persediaan air tinggal 1 liter aqua untuk bersembilan).
Keadaan rame itu semakin terasa... bahkan di ujung mata saya melihat berpasang-pasang sepatu kets selonjor... (saya beristighfar, sambil masih berbaring di kaki Iyes)... Karena penasaran, saya langsung bangun untuk memastikan... tapi gak ada siapa-siapa lagi selain rombongan kami. Jadi berpasang-pasang sepatu kets selonjor itu punya siapa?
Kami melanjutkan perjalanan turun dengan suasana makin tegang mencekam... Semua senyap dalam langkah menuruni Gunung Ciremai.
"Senter dihemat! Yang dinyalakan cuma satu saja!", seru kang Iyus dari belakang.
Saya yang diurutan pertama tak menghiraukan perintah itu, karena kegelapan menambah angker suasana jalan yang kami lalui.
Sssrrreeettt! Senter Iyes menyorot ujung pohon menjulang, dan... ada bayangan hitam disana!! Mata kami semua sontak tertuju kearah bayangan itu... Luar biasa, ternyata sepasang underwear atas bawah lengkap milik wanita dipasang dengan lengkap dan sempurna di pohon.
"Aya-aya wae! Kumaha masangna?" itulah gumam kami waktu itu... Meski sedikit ketawa, tetapi tetap saja tidak mengendurkan ketegangan...
Telinga saya tiba-tiba mendengar suara Leo Samaritaan (temen kita yang penyanyi itu) dan Teh Willy sedang ngobrol ribut seperti kalo sedang kuliah... (alam bawah sadar saya heran karena tentu saja kedua kawan itu tidak ikut dalam pendakian ini... tapi saya cuma membatin dalam hati... khawatir menularkan rasa takut pada yang lain).
Di tengah ketegangan itu Kang Mamat di belakang nyeletuk dengan suara bergetar, "Kok kayak ada Leo dan Willy ya…?!!"
Saya tercekat dan berkata lirih "Sama Mat... Saya juga denger...”
Suasana menjadi senyap lagi, dengan fikiran masing-masing yang dicekam ketegangan... Kami bahkan sempat berputar–putar dan kesasar jalur, tidak menemukan jalur naik pada siang tadi. Ngerinya, konon di Ciremai kalo salah jalur kita bisa ketemu rombongan macan kumbang..
Iyes yang sejak tadi diam tiba-tiba setengah berteriak, "Duh, geus ngaco yeuh panon !! Saya liat banyak rumah-rumah kayak komplek perumahan gituu!!"
"Istighfar, Yess!" seru Kang Iyus... Bulu kuduk kami tambah meremang berdiri tanpa ada yang berani komentar.
"Kita istirahat sebentar", kata kang Iyus mengingat halusinasi angota rombongan sudah gak karuan.
Mamat duduk sambil setengah bergumam, "Saya liat ada Willy dan Tita pake kerudung hijau...”
Kami saling tatap... karena di dalam tim hanya ada satu yang pake kerudung, yaitu saya... Itupun kerudungnya berwarna putih...)
Kami terduduk dan tiba-tiba tertidur tanpa niat tidur... dengan posisi ransel masih di punggung. Saya terbangun karena dingin dan mendengar suara Inin yang 'ngalindur' (piss... Inin aku buka aibnya nih). Inin ini sangat unik kawan-kawan... Dia biasa ngelindur beberes sambil mata tertutup. Makanya kami dulu senang kalo Inin numpang tidur siang di kosan kami sebelum praktikum sore (berharap dia ngelindur terus beres-beres kamar kost kita..).
Waktu itu Inin ngelindur sambil beres-beres gelarin matras dan sekitar tempat istirahat, mulutnya ngoceh nyuruh saya tidur di matras... tentu saja dengan mata terpejam.
Kami akhirnya turun entah dua jam atau lebih kemudian. Kami segera mencari sumber air untuk shalat subuh yang sudah kesiangan dan akhirnya kami dapat melaksanakan sholat subuh dan mandi koboy di mata air yang ada tugu-tugu batunya. Dan wahai kawan-kawan purpala tercinta, konon katanya batu-batu yang sempat dengan seenaknya kami duduki itu ternyata adalah batu keramat tempat pertapaan Nini Pelet sekaligus tempat pertemuan tokoh ini dengan Sunan Bonang pada masa penyebaran Islam kepada pengikut penguasa sihir tersebut.
Apapun misteri yang kami langgar pada waktu pendakian itu kami simpan rapi dan tidak kami sampaikan kepada siapa-siapa (padahal sebenarnya masih terasa menempel di tengkuk sampai seminggu lebih, meskipun sudah seminggu berada kembali di Jatinenzer). Kalau dipikir-pikir, ada untungnya juga tidak menghadap kuncen... karena akan diberi pembekalan tentang tempat-tempat keramat dan ratusan aturan yang tidak boleh dilanggar selama mendaki Gunung Ciremai.
SEMINGGU kemudian berita tersiar di TV bahwa puluhan macan kumbang turun dari Ciremai menyantap ternak-ternak di perkampungan lereng gunung (kabar burung yang tidak dapat dipercaya mengatakan mereka mencari pasukan yang berani-beraninya buang CIKI di tanah mereka... Nah lho...
No comments:
Post a Comment